Home Kolese

Kolese

Kolese (bahasa Latincollegium) adalah lembaga pendidikan atau bagian dari sebuah lembaga pendidikan. Kolese dapat berupa sebuah lembaga pendidikan tersier yang berwenang menganugerahkan gelar akademik, dapat pula berupa bagian dari universitas kolegiat atau federal, ataupun sebuah lembaga yang menyediakan pendidikan vokasi.

Di Amerika Serikat, “kolese” kerap diartikan sebagai bagian dari sebuah universitas atau sebagai lembaga pendidikan tersier yang berwenang menganugerahkan gelar akademik, tetapi pada umumnya istilah “kolese” (bahasa Inggriscollege) digunakan sebagai sinonim dari istilah “universitas” (bahasa Inggrisuniversity),[1] sementara di Britania RayaOseaniaAsia Selatan, dan Afrika Selatan, “kolese” dapat berupa sebuah lembaga pendidikan sekunder atau sekolah menengah, sebuah kolese pendidikan lanjutan, sebuah lembaga pelatihan yang berwenang menganugerahkan gelar keterampilan tertentu, sebuah lembaga pendidikan tinggi yang tidak berstatus universitas (yang sering kali juga tidak berwenang menganugerahkan gelar akademik), ataupun bagian dari sebuah universitas.

Di Indonesia, istilah “kolese” lazimnya digunakan sebagai sebutan bagi lembaga-lembaga pendidikan yang didirikan, dimiliki, dan dikelola oleh padri-padri Yesuit (rohaniwan Katolik dari tarekat Serikat Yesus). Tujuan pendirian kolese adalah untuk mempersiapkan/mendidik para pemuda supaya memiliki kecakapan intelektual dan hidupnya akrab dengan Tuhan, dengan demikian siap menjadi pemimpin keagamaan dan masyarakat.

Etimologi

Pada zaman Romawi Kunocollegium adalah suatu paguyuban atau perkumpulan, yakni sekelompok orang yang hidup bersama menurut seperangkat aturan tertentu (dari kata con- = “bersama” + leg- = “hukum” atau lego = “aku pilih” atau “aku baca”).

Istilah collegium juga berarti dewan, majelis, atau jawatan profesi (kolegium), yang menurunkan istilah “kolegial” (kesejawatan), dan “kolega” (rekan sejawat).

Sejarah Kolese

Kolese pada awalnya didirikan oleh Santo Ignatius Loyola pada sekitar tahun 1500Ignatius Loyola membangun kolese dengan tujuan yang telah disebutkan ketika situasi reformasi gereja. Loyola adalah salah satu tokoh kontra reformasi dan melakukan pembaharuan dengan tetap berpegang pada ajaran Katolik.

Zaman Santo Ignatius

Beberapa lama setelah lahirnya Serikat Yesus, Ignatius dan kawan-kawannya menghadapi masalah besar dalam mencari tenaga baru dewasa yang cakap, terdidik, dan terpanggil seperti mereka. Serikat muda ini diminta mengemban tugas-tugas yang semakin lama semakin berat. Satu-satunya jalan adalah mendirikan beberapa pusat pendidikan untuk kaum muda yang terpanggil untuk mengabdi seperti mereka. Pusat-pusat pendidikan ini begitu berhasil dan terkenal sehingga banyak orang tua ingin menitipkan anak-anak mereka ke dalam pusat pendidikan Yesuit yang kemudian disebut collegium atau kolese. Arti harfiah kolese adalah tempat belajar bersama atau sekolah berasrama (dalam bahasa Latin kata cum berarti ‘bersama’ sedangkan legere berarti ‘membaca’ atau ‘belajar’).

Kolese terkenal karena pendidikan humanisme dam alumni-alumninya. Pada masa itu sedang berkembang paham humanisme atau kemanusiaan. Humanisme memusatkan perhatian pada martabat manusia (dalam bahasa Latin kata “homo” berarti “manusia”). Satu gerakan cabang humanisme memandang manusia sama sekali otonom dan karenanya harus mengembangkan segala potensinya tanpa mengindahkan iman dan agama bahkan menolak Tuhan. Sumber pendidikan humanisme adalah karya sastra dan budaya YunaniRomawi yang jauh lebih bermutu daripada karya sastra budaya kontemporer yang terlalu dipengaruhi agama dan kitab suci.

Kolese mengembangkan humanisme religius, yaitu suatu humanisme yang di satu sisi mengakui otonomi dan potensi manusia dan di sisi lain mengakui bahwa martabat, otonomi, dan potensinya itu berakar pada hakikat manusia sebagai anak-anak Allah yang dicintai-Nya. Dengan demikian untuk perkembangan intelektual, kolese mampu menggunakan sumber pendidikan karya sastra dan budaya Yunani-Romawi secara optimal. Untuk perkembangan pribadi, kolese mampu menghargai usaha pengembangan potensi siswa dalam kebebasan dan kemandirian. Sedangkan untuk perkembangan iman, kolese mampu merajut pendidikan modern tersebut dalam religiositas yang mendalam. Pendidikan kolese begitu berhasil sehingga alumni-alumni tidak hanya menghayati humanisme, melainkan juga menjadi tokoh-tokoh pembela humanisme religius.

Akhirnya sampai pada tahun 1556 saat meninggalnya, Santo Ignatius telah merestui pendirian 40 kolese dan menyetujui karya pendidikan di kolese sebagai salah satu karya Serikat Yesus. Semboyan kolese pada tahun itu adalah “Mendidik kaum muda adalah mereformasi dunia” (Educatio puerorum reformatio mundi). Sekolah mendidik humanis religius dan menumbuhkan mereka menjadi pendekar humanisme religius melawan humanisme atheis yang menyesatkan.

Sejarah Kolese di Indonesia

Zaman Penjajahan Belanda

Kolese pertama di Indonesia adalah Kolese Xaverius di Muntilan. Pendiri dan pencetus ide itu adalah Pater van Lith, SJ. Murid-muridnya mengatakan bahwa ia adalah seorang Belanda berhati Jawa (waktu itu negara Indonesia belum berdiri). Ia sangat prihatin melihat keadaan kemanusiaan waktu itu. Orang Jawa di tanahnya sendiri adalah budak, sedangkan orang Belanda adalah tuan. Ini adalah suatu kemanusiaan yang timpang. Ia ingin mengubah persepsi, sikap, dan penghayatan akan kemanusiaan yang salah itu. Untuk itu, ia mendirikan kolese bagi pemuda Jawa atau Indonesia. Di Kolese Xaverius, siswa meresapkan iman keyakinan bahwa setiap manusia diciptakan sama sebagai anak-anak Allah. Di samping itu, mereka belajar bahasa dan budaya Belanda. Di asrama, siswa belajar hidup dengan cara hidup orang Belanda. Dengan bekal yang diperoleh selama di kolese, siswa-siswa Jawa menghayati kemanusiaan yang benar, tidak menjadi inferior, mampu berbahasa dan bertatacara sebagai manusia berbudaya modern. Mereka dapat duduk sama rendah berdiri sama tinggi dengan orang Belanda.

Cita-cita kolese Pater van Lith, SJ berhasil. Hal ini tampak dari penghayatan para siswanya sebagai orang Jawa otentik yang mampu hidup modern. Mereka menghayati kemanusiaan yang benar, memperjuangkan, dan menyebarkannya. Banyak dari mereka menjadi guru dan mengajarkan apa yang telah diperoleh dari Muntilan. Banyak juga yang berkecimpung dalam berbagai profesi dan di mana mereka berada, mereka memperjuangkan ideal Kolese Xaverius.